Refleksi KNM 2016: “Dipenuhi Roh Bergerak Bagi Misi-Nya”


Kamp Nasional Mahasiswa (KNM) Perkantas 2016, Jambuluwuk Hotel & Resort, Batu, Malang, Jawa Timur.

Kamp Nasional Mahasiswa (KNM) Perkantas 2016 yang dilaksanakan di Jambuluwuk, Batu, Malang, 12-17 Agustus 2016 adalah suatu hal yang sangat menyenangkan bagi saya secara pribadi. Bagaimana tidak, dalam acara tersebut dihadiri oleh ± 600-an mahasiswa(i) dari berbagai daerah di Indonesia yang memiliki latar belakang suku dan bahasa yang berbeda-beda, disatukan menjadi satu kesatuan oleh persekutuan dalam Tuhan. Sayapun mencoba untuk merrefleksikan kembali inti dari KNM yang terlintas dalam pikiranku.

Dinginnya kota batu juga merupakan hal yang patut disyukuri bagi kita yang berasal dari perkotaan yang memiliki kondisi lingkungan panas dan berpolusi. Udara yang tidak hanya sekedar dingin, namun menyejukkan dengan pemandangan nan hijau oleh pepohonan sekaligus dalam satu monitor yang sama terlihat perkotaan yang terdapat dilereng-lereng gunung yakni kota Malang dan kota Batu.

Namun, keindahan tersebut tidaklah lengkap jika hanya menikmatinya sendiri. Saya mencoba memposisikan diriku pada posisi dimana saya seorang diri datang di Jambuluwuk Batu Villa Resort & Convetion Hall. Meski tidak mungkin, walaupun hanya sekadar untuk melihat kondisi kota batu dari ketinggian tersebut, tapi saya terus membayangkan betapa tidak lengkapnya menikmati pemandangan dalam kesendirian.

Sekali lagi, semua telah diperlengkapi oleh KNM Perkantas 2016. Bekumpul bersama bukan hanya sekadar menikmati alam yang indah namun berkumpul untuk menyatukan visi dan misi sebagai anak-anak Tuhan .  Berkumpul bukan hanya untuk tertawa dan bercanda ria, namun juga berkumpul untuk saling menopang, saling berbagi hidup dan tangis sama-sama, menyatu dalam satu permohonan doa kepada-Nya.

Waktu 6 hari 5 malam adalah waktu yang belum cukup jika hanya untuk sekadar berkumpul sama-sama, namun waktu yang berkualitas tersebut adalah waktu yang perlu kita gunakan untuk memperlengkapi diri kita sebelum pergi mengerjakan misi di mana Tuhan menempatkan kita untuk menyebarkan injil-Nya.

Mulai dari opening ceremony sampai closing ceremony semuanya  mengandung unsur yang membuat kita sadar betapa pentingnya untuk menghidupi panggilan kita sebagai orang-orang Kristen. Momen di mana saya diajarkan bagaimana seharusnya saya betul-betul menghidupi panggilan saya sebagai orang Kristen untuk menjadi saksi Kristus di manapun, tanpa ragu, tanpa alasan karena dibalik semua itu ada janji Tuhan yang meneguhkan. Panggilan di mana kita harus betul-betul siap bersaksi dan kata bersaksi di sini bukanlah soal bersaksi seperti memberikan keterangan saja, namun menjadi saksi Kristus yang berarti siap MARTIR.

Bersaksi bagi Yesus bukanlah hal yang main-main. Siap menyangkal diri adalah salah satu hal yang dituntut dalam hal ini bagaimana kita harus mampu untuk membelenggu setiap keinginan-keinginan kita yang duniawi dan memfokuskan diri pada keinginan Tuhan dan sangat tidak mungkin bila kita hanya mengandalkan diri kita saja bahkan betul-betul tidak bisa. Saya menyimpan dalam benak kata-kata pelayan firman yang mengatakan “Jangan seperti balon yang besar kelihatan, namun jika tertindis paku yang kecil langsung pecah” saya mengartikannya dibagian ini bahwa sebagai orang Kristen, jangan kita kelihatan begitu rohani dan begitu berwibawa dari luar, namun ketika kita dalam tekanan semua yang rohani kelihatan, pecah tanpa meninggalkan jejak.

Seringkali kita mengatakan bahwa kita bertobat (mungkin setelah mengikuti suatu kegiatan seperti KKR dan Kamp), kita berusaha hidup baik-baik dan merasa bahwa diri kita sudah bebas dari dosa, namun ketika menghadapi kesulitan akhirnya semuanya tinggallah kata. Mengapa demikian? Karena kita hanya mengandalkan diri dan perasaan kita sendiri. Saya percaya orang-orang di luar Kristenpun mampu untuk merasakan apa yang kita rasakan, seperti kasian terhadap orang miskin, namun satu hal yang membedakan yaitu pikiran kemanusiaan dan pikiran Roh. Pikiran manusiawi akan hilang seiring dengan semakin besarnya tekanan, namun  ketika kita menyerahkan diri kita untuk hidup dipenuhi oleh Roh (dalam hal ini Roh Kudus), maka dalam keadaan apapun KASIH yang kita miliki adalah kasih yang abadi karena berasal dari Tuhan.

Oleh karena itu, sebagai pelayan Tuhan tidak cukup hanya sekedar keinginan untuk menjalankan misi, namun bagaimana kita betul-betul memperbaiki hubungan kita dengan Tuhan. Yang paling utama adalah spritualitas kita agar senantiasa kita semakin dipenuhi Roh untuk bergerak bagi misi-Nya.

Berbicara soal misi, berarti berbicara soal tempat, waktu dan kondisi. Lalu dimana, kapan dan bagaimana kita bermisi? Dalam eksposisi 2 yang membahas tema “Dipilih, Diutus Roh Kudus bagi dunia”, hal yang saya dapatkan adalah bahwa kita diutus untuk memberitakan injil keseluruh dunia seperti yang terdapat dalam satu bagian kitab dalam Kisah Para Rasul 1:8 “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku dari Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi”. Lagi dalam Matius 28:19 “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperitahkan kepadamu. Dan ketahuilah, aku menyertai kamu senantiasa sampai pada akhir zaman”.

Kalimat ini dua-duanya diucapkan Yesus saat terangkat ke Sorga, yang satu dalam Kisah Parah Rasul sedangkan yang satu dalam Injil Matius yang intinya adalah dua-duanya saling mendukung satu sama lain. Yesus terlebih dahulu memberikan jaminan bahwa akan ada satu penolong yaitu Roh Kudus yang akan menaungi kita dalam melaksanakan misi kita sehingga segala ketakutan, keraguan dan kebimbangan kita hilang  dimanapun, kapanpun dan kepada siapapun itu kita bermisi, setelah itu diteguhkan dengan kata-kata “ketahuilah Aku senantiasa menyertai kamu sampai pada akhir zaman” saat Yesus sudah terangkat terangkat ke Sorga.

Dengan dua penekanan bahwa Yesus akan senantiasa menyertai dengan Roh Kudus-Nya, maka seharusnya itu sudah menjadi jaminan yang luar biasa untuk kita pahami sehingga tidak ada lagi alasan untuk tidak mengabarkan injil di manapun kita berada.

Ditengah semakin berkembangnya dunia maka semakin sulit juga kita sebagai generasi pengabar injil untuk menyatakan injil, namun disisi lain juga perkembangan teknologi menjadi sesuatu yang bisa memediasi pekabaran injil Tuhan sehingga kita semakin mudah untuk melaksanakannya, meskipun pada kenyataannya pikiran manusia semakin dipenuhi dengan pikiran yang semata-mata foya-foya dengan kemajuan.

Hal demikian mungkin juga memengaruhi pikiran kita bahwa semua kalangan sudah bisa menjangkau media sosial sehingga kita tidak perlu untuk melakukan misi terlalu jauh dan cukup lewat media sosial, facebook dan lainnya. Namun, kita tidak pernah menyadari semakin banyak suku-suku terabaikan karena kita semakin sibuk dengan perkembangan. Suku-suku yang ada di pedalaman dan suku-suku yang  belum terbiasa dengan media sosial. Hal inilah yang perlu kita beri perhatian dalam pekabaran Injil. Bahkan kita wajib mengabarkan injil kepada mereka karena disisi lain mereka belum mengenal injil sama sekali, ada juga beberapa gerakan yang membuat mereka semakin menjauh jauh dai kebernaran dan semakin jauh dari Injil.

Pelayanan seperti ini membutuhkan komitmen yang sangat besar. Komitmen yang tidak hanya sekedar ditulis, diucapkan dan diselipkan dalam Alkitab, namun betul-betul komitmen yang harus selalu terbuka dan kalau bisa dipasang di dahi agar selalu diingat. Namun siapa? Kita adalah orang-orang yang siap membayar harga seberapapun itu bahkan sampai mati martir.  Orang-orang yang siap menyerahkan hidupnya untuk dipenuhi oleh Roh Kudus, sehingga segala hal yang membebani hilang dan kita menjalaninya sebagai sebuah rasa syukur atas anugerah keselamatan yang telah diberikan untuk kita yang telah menerima Dia sebagai Juruselamat kita secara pribadi.

Namun, bagi kita yang memilih bermisi bagi ladang profesi kita masing-masing bukan berarti bahwa komitmen tersebut tidaklah lebih besar daripada orang-orang yang bermisi di suku-suku terabaikan.  Justru dalam pikiran saya secara pribadi, ketika saya berani mengambil komitmen diprofersi saya maka harga yang perlu saya bayar jauh lebih besar dibandingkan dengan saya pergi mengabarkan injil di daerah-daerah pedalaman yang memiliki warga yang bisa dikatakan masih memiliki rasa tenggang rasa sehingga kemungkinan kita akan diterima. Tapi, ketika saya di kota dan saya berusaha untuk memperkenalkan kebenaran yang sesungguhnya kepada mereka yang telah lebih dulu percaya kepada kebenaran (yang mereka anggap benar) yang lain maka harga yang saya harus bayar adalah dijauhi, dicemooh dan lain sebagainya sehingga menjadi orang yang merasa sendiri . Dalam bayangan saya jauh lebih baik ketika saya merasa sendiri ketika saya betul-betul sendiri diperkampungan daripada saya merasa sendiri diperkotaan.

Bukan tidak mungkin saya akan tiba-tiba dijauhi oleh teman baik saya, bahkan akan dianggap sebagai pengacau atau bahkan disebut orang yang pantas untuk dijauhi. Suatu hal yang tidak bisa diterima oleh beberapa orang yang memiliki hoby berteman. Jadi yang intinya adalah ketika kita siap bermisi, maka kita harus siap menanggung setiap resiko yang akan terjadi.

Oleh karena itu, bagi kita yang sudah berkomitmen mengambil bagian dalam pelayanan dimanapun kita telah komitmen kita pada intinya sama membutuhkan nyali. Butuh pengorbanan dan harus meninggalkan zona nyaman kita.

Oleh: Aris Taoemesa

Comments

  1. "Yang paling utama adalah spritualitas kita agar senantiasa kita semakin dipenuhi Roh untuk bergerak bagi misi-Nya..." God bless you, thanks for your blog :))

    ReplyDelete

Post a Comment