Cerpen: Sekuntum bunga mawar kain

Sekuntum bunga mawar kain

Kurasakan cucuran keringat, berlinang turun membasahi bantal tempat aku menumpangkan kepalaku. Lama dan semakin lama dan akhirnya kurasa tak bisa lagi teruskan tidurku. Akhirnya kuputusakn untuk bangun saja, walaupun mata masih agak berat untuk dapat terbuka dan tak bisa memandangi terangnya sinar surya yang datang dari ufuk timur. “huaaaaKKkkk….!!!” sepertinya mau muntah mencium bauh badanku sendiri, bauh badan yang bercampur dan keringat dan alkohol. Aku baru sadar, ternyata tadi malam aku habis mabuk-mabukan sama teman-temanku.
Aku mengambil handuk dan bergegas hendak ke kamar mandi. “ Nak, kalau sudah mandi, sarapan duluh, setelah itu baru berangkat ke kampus, jangan terlalu tergesah-gesah, jangan sampai kau lupa sarapan lagi”, kata mama padaku yang sedang sibuk di dapur. Aku hanya diam mengangguk, tersenyum tipis, dan memandangi mama yang sudah kelihatan tuah mulai masuk usia senja. Kulanjutkan semua aktivitas yang kurencanakan, tapi dalam keadaan yang selalu diliputi banyak pertanyaan. Pertanyaan untuk masa depan aku dan mama yang hanya mengandalkan mesin jahit untuk melanjutkan kuliahku.
Kalau kau punya motor, itu karena hasil upaya mama yang selalu begadang setiap malam untuk menjahit kain bekas untuk diolah menjadi sebuah napkin yang sederhana. Kalau aku punya laptop, itu karena mama yang tak pernah lelah menawarkan jasanya untuk membuat baju bagi orang-orang yang membutuhkan. Kalau aku punya handphone, semua karena mama yang tak mengenal setitik darah yang keluar dari jari-jarinya yang hampir setiap hari tertusuk jarum. Semuah yang ada padaku adalah hasil upaya mama, yag selalu memperjuangkan aku, untuk bisa bersaing dengan teman-temanku yang ada di luar. Aku sungguh merasa kasian sama mama.
Di sisi lain aku merasa kasian sama mama, aku juga menyimpan rasa benci untuknya. Setiap kali aku tanya tentang papa, mama selalu saja menjawab kalau belum saatnya aku tahu sekarang. Dalam hatiku, selalu bertnya siapa dan di mana sebenarnya papa, dan apa pulah pekrjaannya? Kali ini aku semakin tidak sabar lagi, dan aku untuk mencobah lagi untuk bertanya kepada mama untuk yang kesekian kalinya. “ Ma, boleh tidak aku bertanya?” tanyaku. Mungkin ibu sudah tahu, apa sebenarnya yang akan saya tanyakan, karena tak ada yang lain yang selalu kutanyakan kalau bukan soal papa. Mama diam dan perlahan-lahan menelan nasi yang sedang dikunyanya, sambil melepaskan sendok yag ada di tangannya, lalu membelai rambut pirangku dengan lembut. “ Kalau kamu mau bertanya, mama tidak larang, namun ada satu hal yang selalu mama takutkan apabila kamu mau bertanya, mama takut dan tak bisa mengucapkan apa-apa, jika kamu bertanya lagi tentang papamu.”
Dalam hatiku, pasti ibu akan mencari alasan yang lain untuk menyangkal pertanyaanku. Aku ingin mencobah bersabar lagi, namun kapan, kapan saatnya aku mengetahui identitas papaku sendiri, paling tidak aku bisa tahu identitasnya saja. Kuhentakkan sendok dan garpu yang ada di tanganku, ke tas meja. “Mama maunya apa sebenarnya sih, sudah berkali-kali aku tanya tentang papa, namun berkali-kali juga mama memberikan aku penjelasan yang tidak masuk akal. Paling tidak mama mengatakan identitas papa, dan di mana sebenarnya, apa susahnya si ma? Apa mama tidak kasian sama saya, hidup yang tak pernah mengenal yang namanya papa. Sabah sangat ingin menyebut nama papa, walaupun hanya menyebutnya, apabilah memang tidak memungkinkan bagi saya untuk dapat melihat wajahnya….!!!” bentakku sama mama. Kuambil tasku dan pergi meninggalkan mama sendiri, sendiri bersama air mata yang sebenarnya sangat aku sayangkan untuk tumpah membasahi pipinya.
Dalam perjalanan menuju ke kampus, pikiranku seakan-akan buntu, dan tak bisa lagi memikirkan apa-apa. Kutancapkan gas motorku sekencang-kencang mungkin, sampi akhirnya mendapti jalan yang rusak dan berkelok-kelok, namun akupun tetap saja tidak peduli dan semakin menancap gas motorku. Sampai akhirnya aku hampir menabrak anak sekolah yang sedang menyeberang. Motorku tak bisa lagi kukendalikan, dan akhirnya lari kepinggir jalan dan menabrak pohon pepayah. Sakit sekali rasanya badanku yang terseret, mau menangis rasanya, tapi saya tidak mau dibilangi orang-orang yang lewat “banci”, aku tidak mau dibilangi laki-laki yang cengeng. Dan akhirnya kuputusakn untuk melawan rasa sakitku. Kini bertambah sudah sakit kurasakn, sakit hati karena mama selalu menyembunyikn keberadaan papa, ditambah lagi sakit terseret karena menabrak pohon pepayah. Kupaksa untuk tersenyum kepada mereka yang lewat, walaupun tak sesuai sebenarnya dengan isi hatiku.
Kulanjutkan perjalananku, dan terus diliputi pertanyaan tentang papa, kadang sesekali muncul dalam pikiranku, apakah mama yang sekarang aku sebut mama bukan mama aku, dan mungkin ia hanya memungut aku dari panti asuhan, sehingga aku tidak pernah melihat yang namanya papa? Tapi, kalau mama hanyalah mama angkatku, mengapa aku begitu sangat terikat batin dengannya? Dan lagi pulah mengapa mama mau mengadopsi anak, padahal untuk dirinya saja masih belum cukup untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari. Atau apakah sebenarnya papaku sudah meninggal? Tapi, kalau papa sudah meninggal, pastilah mama sering-sering megajakku ziarah ke kubur papa. Duah pertanyaan ini sudah kujawab sendiri, dan sudah kupastikan bahwa mamaku yang sekarang adalah mama kandungku, dan aku juga tahu, pasti papa masih hidup. Tapi di mana papa sebenarnya? Ke mana aku harus mencari? “ Tuhan,……….jika memang harus begini, kehendakmulah yang jadi, tapi jika Engkau mengijinkan, pertemukanlah aku dengan papa” do’aku dalm hati.
“PriiiiiiiiiiiittTTT…………………” tibah-tibah terdengar suara sempritan.
“Aduh…!!! Mampus…….” sahutku
Sepertinya aku dikejar sama polisi lalu lintas, “apa salahku?” tanyaku dalam hati. Kuperhatian motorku dari depan sampai ke belakangnya. Ternyata aku benar-benar melanggar. Plat motorku bagian belakang tidak ada dan tidak tahu pulah kemana harus mencarinya, sedangkan polisinya sudah di depan mata. Kuputuskan untk menyerah saja. Tapi kalau aku di tanya ke mana plat motorku aku harus jawab apa?
“Selamat pagi,…..tahu kesalahan Adek…?!!!!” bentak polisi yang hitam gemuk itu.
Aku hanya tunduk diam  sambil mencari alasan bagaimana bisa lolos dai pak polisi ini.
“hmmmmm….. kutemukan alsannya……” kataku dalam hati
“Pak , tadi aku terbruh-buruh, dan tanpa sengaja menabrak pohon pepayah, jadi, mungkin plat motornya tanggal, dan akhirnya tertinggal di situ Pak….!” sahutku
“ Adek tidak bisa mengucapkan alasan tanpa bukti yang jelas. Apakah Adek bersediah mengantar saya ke tempat yna adek maksudkan? Kata polisis itu lagi.
“adu Pak ini sudah terlambat sekali pak, kuliahku sudah mulai dari tadi pak……” kataku mengelak.
“ Adek mau pilih yang mana di panggil ke pengadilan, atau mengatar saya ke tempat adek menabrak pohon pepayah itu, yah… otomatis semakin kamu menunda-nunda, semakin waktumu berkurang, dan semakin terlambat. Karena saya tidak akan meloloskan kamu sebelum menyelesaikan masalah ini”. Kata polisi itu lagi.
“huff…. ya de pak, dari pada dak masuk kuliah sama sekali.”
Kuantarkan bapak polisi itu ke tempat aku menabrak pohon pepayah itu. Dan ternyata benar plat motorku ada di situ. Adu…. lengkap sudah kurasa masalahku hari ini, sakit hati bercampur kasian sama mama, sakit karena jatuh, Bah….. tambah lagi melanggar lalu lintas. Apa lagi pak polisinya tidak bisa di ajak kerja sama. “ hahahahaha……” aku tertawa dalam hati. Bagaimana tidak mau tertawa sendiri, walaupun mungkin Bapak polisinya bisa di ajak kerjasama, tapi uang dalam dompetku tinggal pembayran uang parkir yang jumlahnya tinggal Rp 2000,00 saja.
“Dek boleh jelaskan, mengapa adek sampai menabrak pohon pepayah? Tanya bapak itu.
“aduh pak!!, kalau dibilang kecelakaan, pasti dak di sengaja, yang pastinya tadi itu aku buru-buru karena sudah terlambat. Eh malah menabrak pohon pepayah dan melanggar lagi. Jadi tambah terlambat de…. eh maaf pak, agak tidak sopan” kataku membelah diri.
“ ya sudah, lain kali kalau mau mengendarai kendaraan, pelan-pelan saja, kali ini saya masih berikan toleransi, tapi kalau saya dapat kedua kalinya, jangan harap bisa lolos begitu semudah ini….” kata polisi itu.
“siap…Pak!!!” balasku, “sepelan-pelan lagunya kotak?” candaku dalam hati.
“ hmmmmm….. puji Tuhan, ternyata nih pak polisi calon penghuni Surga,” sanjungku dalam hati. ”terima kasih Pak” lanjutku.
“ Jadi saya sudah bisa berngkat ini pak,? Tanyaku lagi.
“ Eits, kamu jangan lupa, plat motormu belum dipasang jadi, pasang duluh sebelum berangkat” kata pak polisi itu.
Aku mengambil kunci-kunci yang ada dalam bagasi motorku, dan memasang plat motorku setelah itu baru berangkat.
Belum sampai di depan kelas, sudah kubayangkan ekspresi dosenku atas keterlambatanku ini. Dosen paling galak yang pernah kutemukan, walaupun sudah tuah dan botak, namun masi sok keanak mudaan.
“ Hmmmm….. asik !!!! dosen sedang menulis, jadi aku bisa masuk pelan-pelan. Pasti dia tidak akan tahu” kataku sambil bisik-bisik sama teman, untuk tidak ribut, agar dosen tidak tahu. Aku pelan-pela masuk kelas, kulepaskan sepatuku, biar tidak bunyi saat melangkah.
“Het……….het………….het…………..sabah…..sabah…….” tibah-tibah ia menyapaku
“ he…….he…..he………….. bapak!!! Pagi pak…! rayuku yang penuh dengan rasa malu.
“ he……he…..he………….. pagi juga sabah…..!!!katanya sambil mengedip-ngedipkan mata.
“ tttTTTTaaapiiiiiiiiii…………..innnni sudah jammmmmmm berrrrapa sshhhabbahh….”tibah-tibah ia melanjutnya dengan bentakan di sertai penekanan.
Aku sangat kaget.
“ini baru jam 6.15 pagi pak,………..” jawabku
“jam 6.15 , ini sudah jam 7.15, dan kamu sudah terlambat 15 menit” bentaknya lagi.
“maksudku jam 6.15 di Jakarta Pak” sahutku dengan sedikit bercanda.
“Kamu ini keterlaluan Sabah, kamu mau mempermainkan bapak? Bentaknya lagi.
“tidak, tidak pak, tapi aku habis nabrak pohon, jadi agak pusing sedikit pak dan makanya aku terlambat” jawabku….
“duduk………………………” bentaknya sekali lagi.
Aku duduk sambil mengelus-elus dadaku yang seakan-akan copot gara-gara capek, ditambah lagi di bentak-bentak sama dosen. Kulirik Weni yang ada di sampingku, sedang sibuk mengerjakan soal. “ tumben ia tidak mau menoleh sama saya sama sekali?” tanyaku dalam hati. Aku merasa ia bedah hari ini, selain penampilannya yang semakin mengagumkan, tapi perhatiannya ke aku sepertinya sudah berkurang, sampai-sampai ia tidak melakukan reaksi apapun atas keterlambatan saya. Padahal yang lalu-lalu, apabilah aku salah mengerjakan soal di papan saja dia naik bantuin aku. Tapi, aku berharap ia hanya serius mengerjaka soal, dan tak berniat untuk memutuskan aku.
Jam kuliah sudah selesai, kulihat Weni bergegas keluar, dan tidak seperti biasanya, ia selalu mengajakku makan bersama di kantin, dan kalau tidak kami selalu pergi duduk di bawah pohon di tepi danau dekat IPTEK, akupun semakin curiga sama dia ada apa sebenarnya? Apakah ia marah karena aku terlambat tadi?, tapi tidak mungkin masalah sekecil ini membuatnya jauh dari saya. Kususul dia sampai ke kantin, mencobah untuk bertanya ada apa sebenarnya. Tapi, dia Cuma bilang, “jangan ganggu aku dulu”. Kubiarkan ia pergi dan makan bersama teman-temannya walaupun aku melihat dia sebenarnya ingin sekali saya temani. Sampai pada saat jam pulang, iapun tidak pernah muncul di hadapanku. Kini semakin lengkap masalah yang aku alami, sudah banyak masalah tadi pagi, ditambah lagi sang pacar kini tak mau lagi bicara denganku.
Kuputuskan untuk pulag saja, aku mau minta maaf sama mama, atas kejadian tadi pagi yang sempat membuatnya menangis, walaupun masalah ini belum kelar-kelar juga.
Kulihat dari jauh, rumah yang biasanya selalu terbuka kini ditutup rapat-rapat dan kain garden jendelahnyapun tak di buka. Kubuka pintu secara perlahan-lahan, sambil memanggil-manggil mama. Mesin jahit yang biasanya menghiasi nada angin kini tak mengeluarkan suara sama sekali. “ mama sedang tidur” kataku dalam hati. Aku menghampiri dia, dan seketika itu juga mama terjaga dan melihatku datang. “ Nak sudah pulang” katanya. “Ia ma… tumben mama tidak menjahit, biasanya kalau siang seperti ini mama lagi semangat-semangat menjahit?” tanyaku. Dengan nada yang sedikit gemetar, mama menjawab “ aku demam, Nak”. Semakin bertambahlah rasa kasianku sama mama dan dalam hati saya, saya berjanji untuk tidak akan membuat ia menangis lagi seperti sebelum-sebelumnya. Kurabah kepalahnya, dan kurasakan panas yang amat sangat dan tanpa kusadari air matakupun jatuh. Dalam hatiku, ini bukan masalah cengeng atau tidaknya saya, tapi memang air mata ini sudah tidak bisa di tahan lagi. Dalam hatiku, aku sudah tidak punya papa, mangapa aku tidak menjaga mama yang jelas-jelas sudah aku lihat sekarang.
“ ma aku mau minta maaf, atas semua perbuatan yang sabah lakukan selama ini, minum, dan terlalu memaksa mama untuk memberi tahu keberadaan papa” kataku. Tapi ibu menjawab” sudah makan dulu sana, ada mi kari ayam spesial sudah mama siapkan tadi.”(baca dengan nada daerahmu masing-masing).
Hatiku semakin serasa semakin di sayat-sayat sembilu, melihat begitu besar pengorbanan yang telah diberikannya untukku. Akupun pergi makan, dan setelah sampai dimeja makan, kulihat sekuntum bunga mawar merah yang terbuat dari kain, dan kutahu pasti ibu yang telah menjahit dan menyulamnya sampai seindah itu. Belum selesai makan, kulihat pulah secarik kertas diselipkan pada tangkai bunga itu, aku hentikan makan sejenak, da membaca tulisan itu yang ternyata adalah tulisan tangan mama dan isinyaa:
Untuk Weni anak mama…..
      Weni anakku, maafkan mama nak mungkin mama akan merusak kebahagiaanmu, dengan adanya surat ini. Papamu terlanjur mencampakkan mama dan kakakmu Sabah. Jadi, mama tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin engkau tidak tahu nak, dan mungkin engkau juga tidak mau tahu dan mama kandungmu adalah saya bukan mamamu yang sekarang, mamamu yang selalu mencaci maki mama (tante Rani). Mamamu yang sekarang adalah hasil perselingkuha papamu saat kamu masi beruisa 2 bulan. Mungkin engkau sudah bahagia hidup dengan papamu dan mama tirimu itu, tapi aku terpaksa menulis surat ini untuk kamu nak, karena kakakmu Sabah yang selalu mau di kasih tahu tentang papanya. Dan supaya kamu juga bisa tahu yang sebenarnya. Maafin mama juga, karena mama tidak membawamu waktu itu, karena papamu tidak mau melepaskan kamu dan mama juga pikir kamu akan bahagia jika tinggal disitu. Dan Sabah kakakmu, dari kecil ia sudah nakal, sehingga papamu tidak suka sama perilakunya makanya ia mengusir kami berduah setelah ia menikah sama mama Marsi(mama tirimu).
Salam, Tante Rani ( mama kandung kamu )
Kini aku berada diantara percaya dan tidak percaya, namun ini sungguh nyata tulisan mama, dan mana mungkin mama berani mengarang, aku tahu mama yang sebenarnya. Mungkin inilah yang membuat Weni menjauh dariku, karena mungkin ia sudah tahu siapa aku sebenarnya. Ternyata selama ini aku pacaran sama adik kandungku sendiri. Aku harus ketemu papa dan weni untuk membicarakan semua ini.
::::::::::::::::::::::::::::::::::::+++++++++++++++++++++++++++++++++:::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Oleh : Aris Taoemesa

Comments